Ngobrol Larut dengan AI Mengubah Cara Saya Menulis
Malam hari selalu menjadi waktu favorit saya untuk menulis. Baru-baru ini, rutinitas itu berubah: bukan lagi monolog di depan layar, melainkan obrolan dua arah dengan sebuah model AI. Percakapan yang dimulai dari pertanyaan sederhana—”Bagaimana sudut pandang lokal untuk isu ini?”—berkembang menjadi proses kolaboratif yang merombak cara saya merangkai ide, memeriksa fakta, dan menyusun narasi. Dalam tulisan ini saya berbagi pengalaman praktis sebagai penulis dengan lebih dari satu dekade bekerja di media dan agensi digital di Indonesia, serta implikasi yang saya amati untuk ekosistem penulisan di tanah air.
Awal Percakapan: Dari Prompt ke Ide yang Lebih Tajam
Saat pertama kali saya mulai “ngobrol” dengan AI, saya membawa kebiasaan lama: brief singkat, mood board, dan deadlin yang ketat. AI mengubah urutan itu. Daripada merancang outline penuh di awal, saya mengajukan serangkaian prompt yang berlapis — mulai dari konteks lokal, nuansa bahasa Indonesia yang tepat, hingga contoh kutipan sumber lokal. Dari percakapan itu muncul ide-ide sudut pandang yang sebelumnya tidak saya pertimbangkan, seperti mengaitkan isu teknologi dengan praktik warung digital di Jawa Timur atau dampak literasi digital pada UMKM di Makassar.
Contoh nyata: untuk sebuah feature tentang fintech lokal, AI membantu saya menyaring 12 studi kasus menjadi tiga yang paling relevan berdasarkan kriteria yang saya berikan — jangkauan pengguna, model bisnis, dan dampak sosial. Proses yang biasanya memakan waktu berjam-jam browsing dan menimbang kini terselesaikan dalam hitungan puluh menit, memberi saya ruang untuk menggali nuance yang lebih bernilai jurnalistik.
AI sebagai Editor, Mentor, dan Rekan Latihan
Saya mulai menggunakan AI dalam tiga peran: editor garis besar, mentor gaya bahasa, dan rekan latihan. Sebagai editor, AI cepat menyorot inkonsistensi naratif, redundansi, dan peluang memperkuat lead. Sebagai mentor, ia memberi saran penggantian kata yang lebih tepat dalam Bahasa Indonesia—termasuk pilihan idiom dan register formal versus santai—sesuatu yang krusial untuk pembaca lokal. Sebagai rekan latihan, saya mengecek headline, subjudul, atau pembuka alternatif, lalu membandingkan respons pembaca kecil dari tim internal.
Pengalaman nyata: ketika mengerjakan artikel investigasi dengan tenggat singkat, bantuan AI memangkas waktu editing sebanyak sekitar 30-40% menurut perhitungan internal saya—tidak hanya karena saran kata, tetapi karena AI membantu memprioritaskan bagian yang perlu verifikasi manusia.
Dampak pada Etika dan Identitas Tulisan
Tidak semua yang ditawarkan AI langsung bisa diterapkan tanpa kritis. Salah satu pelajaran penting: verifikasi sumber tetap tak tergantikan. AI sering memberikan rangkuman yang rapi, tetapi terkadang mengaburkan asal data atau menyajikan generalisasi. Di era di mana berita palsu dan misinformasi punya daya sebar tinggi, tugas penulis berubah menjadi dua lapis: menghasilkan narasi menarik dan sekaligus memastikan kebenaran faktualnya.
Saya juga menyaksikan tantangan identitas tulisan. Ketika AI membantu menyetir gaya, ada risiko kehilangan “suara” penulis. Untuk mengatasinya, saya menggunakan AI sebagai alat penyempurnaan, bukan pembuat akhir. Saya mengadaptasi rekomendasi yang cocok dengan gaya saya—mempertahankan idiom lokal, referensi budaya pop Indonesia, serta nada yang pernah resonan dengan pembaca saya—karena pada akhirnya pembaca mengenali ketulusan suara manusia.
Masa Depan Menulis di Indonesia—Praktik dan Peluang
Di lapangan, saya sudah melihat penulis muda dan jurnalis lokal mengadopsi AI untuk riset cepat, pengembangan ide, dan optimasi SEO berbahasa Indonesia. Praktik terbaik yang saya bagikan pada workshop internal adalah: 1) buat prompt yang kontekstual, 2) selalu cross-check klaim penting, 3) gunakan AI untuk menghemat waktu mekanis sehingga penulis bisa lebih fokus pada analisis mendalam. Untuk contoh penerapan konkret dan sumber inspirasi, saya pernah menyusun portofolio dan panduan singkat di jaynorla yang bisa membantu rekan penulis memulai.
Peluang terbesar menurut saya ada pada kolaborasi lintas-disiplin: penulis yang paham cara memanfaatkan AI dan tetap memegang prinsip jurnalistik akan mampu membuat konten yang relevan, cepat, dan berpendalaman. Pemerintah, startup, dan media lokal harus melatih literasi digital ini agar manfaatnya tersebar merata, bukan hanya di kota besar.
Di penghujung malam—setelah beberapa iterasi prompt, dua kopi, dan revisi akhir—saya menyadari satu hal sederhana: AI mengubah cara saya menulis terutama dari sisi proses. Hasil akhirnya tetap tergantung pada manusia: pilihan topik, kedalaman riset, dan keberanian mengambil sudut pandang. AI mempercepat, memperluas, dan kadang menantang, tetapi suara penulis adalah kompas yang menentukan arah cerita.